Sorong, PbP – Layaknya seorang bayi yang baru lahir. Klaim siapa ibu kandung dari bayi tersebut sangat diperlukan. Inilah gambaran yang ingin disampaikan oleh Ketua Tim Deklarator Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya (PBD) Andi Asmuruf, SH, MH saat melakukan sosialisasi Undang – Undang Otonomi khusus dan kedudukan Provinsi PBD.
Dalam sosialisasi yang berlangsung di Sekretariat PBD , Selasa (3/1/2023) itu diikuti oleh sejumlah tokoh lintas suku asli Papua yang ada di wilayah Kota Sorong, Provinsi PBD.
Ketua Deklarator menegaskan UU Otsus ada bukan hal yang gampang, sebab ditukar dengan perjalanan panjang penuh darah dan air mata sejak tahun 1969. Pemerintah pusat memberikan Otsus, karena peristiwa tahun 1969. “Catat itu dan bicara kepada kita punya anak cucu. Jadi bukan jamannya untuk kita ditipu- tipu, ” kata Andi Asmuruf dengan tegas.
Dijelaskannya Provinsi PBD hadir berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 pasal 76 bukan perubahan UU Otsus nomor 2 tahun 2021.
Dalam Pasal 76 ini, lanjut dia, berbicara soal pemekaran Provinsi di Tanah Papua harus berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Provinsi PBD ini lahir dari UU Otsus, beda dengan 3 Provinsi lain yang hadir di Tanah Papua. Tiga Provinsi lain hadir melalui peraturan pemerintah atau Undang – Undang yang dibuat pemerintah pusat,” kata dia.
Ditegaskan Provinsi PBD merupakan anak kandung UU Otsus, sedangkan Provinsi Papua Barat menurut Andi Asmuruf , bisa dikatakan anak angkat dari Undang – Undang Otsus.
Dimana diketahui Provinsi Papua Barat pertama dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999. Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat. Provinsi ini berdiri berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tersebut mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Setelah dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden BJ Habibie, rencana pemekaran provinsi menjadi tiga ditolak Papua di Jayapura dengan unjuk rasa akbar pada tanggal 14 Oktober 1999.
Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan keras dari induknya Provinsi Papua, hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji material. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat.
Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315. Pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003.
Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan membentuk dirinya menjadi provinsi definitif. Setelah itu, Provinsi Irian Jaya Barat terus melengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain payung hukumnya telah dibatalkan.

Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparat pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki gurbernur dan wakil gurbernur definitif untuk periode 2006 – 2011 Abraham Octavianus Atururi dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 24 Juli 2006.
Pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan, dan pertentangan keras selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003, sejak tanggal 18 April 2007 dengan berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007.
Andi Asmuruf dalam sosialisasi mengibaratkan proses keberadaan Provinsi Papua Barat di atas seperti proses pengangkatan anak angkat di pengadilan. “Dimana sepasang suami – istri mengusulkan ke pengadilan untuk mengangkat seorang anak melalui pengadilan. Saya selaku hakim banyak menangani kasus pengangkatan anak angkat yang diusulkan melalui pengadilan, ” kata dia menerangkan secara sederhana dengan kacamata hukum.
Berbeda dengan kelahiran Provinsi PBD, kata Andi Asmuruf, kebanyakan masyarakat dibawah belum paham. Kehadiran Provinsi ini. Provinsi PBD lahir dari UU Otsus. di mendapat persetujuan dari DPRP Papua dan MRP.
Dikatakannya sosialisasi tentang UU Otsus ini sangat penting untuk menyampaikan tentang hak – hak orang asli Papua. “Ini harus diketahui karena banyak masyarakat yang belum paham. Otsus itu dilaksanakan oleh Pemerintah tapi tidak pernah ada peraturan petunjuk, ” ucap Andi Asmuruf.
“Kita dengan Miliyaran rupiah diturunkan untuk melaksanakan UU Otsus. Adat diterima berapa miliar, keagamaan berapa miliar, untuk perempuan berapa miliar. Semua tidak ada regulasi yang mengatur, bagaimana kita bisa tahu jumlah dana yang sebesar itu. Siapa yang membohongi itu. Berati pelaku – pelaku pelaksana pemerintah yang membohongi”.
Sejak UU Otsus hadir peraturan pemerintah hanya satu yaitu peraturan pemerintah tentang pembentukan MRP. Selaku praktisi hukum dirinya berbicara berdasarkan aturan yang ada, dia tidak bicara diluar aturan. Itulah yang membuat sosialisasi ini sangat perlu dilakukan sampai di akar rumput, sehingga Lembaga Adat, dan lembaga perempuan terkaver di dalam Undang – Undang.
“Perjuangan provinsi ini ada tiga tim, kenyataannya dua tim adalah penyelundupan. Di Undang – Undang Otsus telah membagi tanah Papua menjadi tujuh wilayah adat. Jadi setiap wilayah adat masing – masing mengurus wilayahnya sendiri. Kami berjuang murni dari masyarakat, namun kenyataan masih terjadi penyelundupan ketika menunjuk Penjabat Gubernur. Bukan kita menolak atau diskriminasi, tapi kan sudah dibagi sesuai wilayah adatnya, maka dia harus sadar wilayah adatnya dimana, “tutup Andi Asmuruf. [EYE – SF ]