Cagub dan Cawagub PBD Wajib OAP, Elit Non OAP Jangan Buang Energi Mencari Legitimasi
Sorong, PbP – Masyarakat yang mendiami wilayah Provinsi Papua Barat Daya (PBD), belakangan mulai diriuhkan dengan munculnya sejumlah figur, yang digadang-gadang bakal menjadi kontestan dalam Pilkada Gubernur – Wakil Gubernur Provinsi PBD tahun 2024.
Fenomena ini tentu mengundang banyak respon dan spekulasi di kalangan masyarakat, bahkan banyak pihak yang menyampaikan komentar secara terbuka di ruang publik menyikapi dinamika yang terjadi.
Suhu politik yang mulai meningkat ini ternyata tidak luput dari sorotan Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (Fopera) Provinsi Papua Barat Daya. Fopera juga ikut berkomentar terkait maraknya pernak-pernik, yang menghiasi panggung politik menjelang Pilkada kali ini.
Ketua Fopera Papua Barat Daya Yanto A. Ijie mengungkapkan, dinamika yang terjadi menjelang Pilkada merupakan hal lumrah, mengingat momen pemilu sudah sangat dekat. Hanya saja, sebut dia pada poin-poin tertentu perlu adanya penegasan, sehingga Pilkada kali ini bisa bermakna, bahkan bisa menjadi dasar yang kuat untuk pemilu atau Pilkada kedepanya.
Yanto menfokuskan penyampaiannya pada proses kandidasi, yang menurutnya harus benar-benar berasaskan aturan, khususnya amanat yang termaktub didalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua.
“Pertama yang harus kita pahami bahwa pelaksanaan Pilkada di tanah Papua berbeda dengan Pilkada di daerah lainnya. Di Papua kita memiliki yang namanya Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus),” ujar Yanto mengawali pembicaraannya saat diwawancarai sejumlah awak media di Sekretariat Fopera PBD, Jalan Malibela, Kota Sorong, Senin (15/04/2024).
Yanto menjelaskann, pada pasal 12 UU Otsus menyebutkan bahwa gubernur dan wagub di Papua adalah warga negara Indonesia (WNI), kemudian pada huruf a menyebutkan Orang Asli Papua (OAP), yang artinya undang-undang Otsus sudah menutup ruang bagi siapapun atas nama apapun, selain OAP untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di tanah Papua, termasuk di Provinsi Papua Barat Daya.
“Kalau hari ini kita lihat ada tokoh-tokoh, atau elit-elit politik daerah yang kemudian bergerilya melakukan manufer untuk mendapat pengakuan dari masyarakat adat atau dari kelompok adat tertentu, lembaga adat tertentu, bagi kami itu sah-sah saja, dia sebagai warga negara untuk mendapat pengakuan, tetapi sekali lagi kursi gubernur dan wakil gubernur harus ditempati oleh OAP,” sebut Yanto.
Terkait redaksi dalam UU Otsus yang menyertakan teks tambahan ‘dan atau orang yang mendapat pengakuan dari masyarakat adat Papua’, Yanto menjelaskan dua argumentasi penting dari pemikirannya, pertama, terkecuali jika orang asli Papua tidak ada atau tidak siap, maka bisa masuk orang yang mendapat pengakuan tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa bunyi pasal yang menyertakan “orang yang mendapat pengakuan” hanya dipakai sebagai cadangan apabila OAP tidak ada yang maju menjadi cagub dan cawagub.
Argumentasi kedua, sampai hari ini belum ada masyarakat adat Papua yang diakui secara yuridis didalam aturan, sehingga perlu adanya ratifikasi atau konsensus bersama oleh seluruh masyarakat adat, supaya dapat menentukan dan menetapkan bagian masyarakat adat mana yang harus diakui. Yang berikut juga sampai saat ini belum ada Perdasus sebagai aturan turunan yang mengatur tentang mekanisme pengakuan masyarakat adat Papua.
“Kalau yang ‘mendapat pengakuan’ itu diloloskan, ini akan menjadi bomerang bagi kita kedepan, karena sudah pasti pada Pilkada di masa depan akan ada orang yang melegitimasi dirinya untuk bisa menududuki posisi ini karena berkaca dari Pemilu kali ini. Jadi kami selaku tokoh muda, anak OAP dan pimpinan lembaga ini menegaskan bahwa besok yang duduk sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur adalah OAP, semua pihak harus menghormati dan menghargai niat baik Pemerintah Pusat yang memberi ruang kepada OAP melalui UU Otsus,” tegas Yanto.
Olehnya itu, ia menyarankan kepada elit-elit politik yang merasa diri bukan OAP, agar tidak melakukan manuver-manuver berlebihan dalam rangka mencari pengakuan atau legitimasi demi merengkuh kekuasaan di Papua Barat Daya. Hal tersebut, lanjut dia hanya akan membuang-buang energi, waktu bahkan biaya. Mengingat, Undang-undang telah mengamanatkan untuk dilakukan filterisasi terkait kelayakan sebagai OAP, yang dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Jadi harus benar-benar OAP, itu bukan kata saya atau kata kami tetapi itu perintah Undang-undang, sehingga tokoh elit silahkan kalian manuver tetapi ingat keputusan terakhir di MRP, mereka yang akan tentukan siapa yang layak dan tidak. Jadi saran kami jangan buang-buang energi lah, buang-buang waktu atau biaya, untuk mendapat legitimasi,” ungkapnya.
Sebagai benteng terakhir, ia mengaku sangat percaya dan menaruh harapan besar kepada MRP Provinsi PBD untuk dapat memfilterisasi keaslian orang Papua, sekaligus memproteksi hak-hak dasar OAP dalam dunia politik. Kepercayaan itu ia yakinkan, karena MRP PBD merupakan lembaga kultur yang didalamnya diisi oleh anak-anak adat, yang tentu paham history, wilayah adat hingga pergumulan orang Papua.
Ia berharap, dalam mengambil keputusan MRP PBD harus pada posisi yang tidak terkontaminasi, MRP harus mampu meletakan dasar yang baik di provinsi PBD, bahwa hari ini harus diakui yang jadi gubernur dan wakil gubernur adalah OAP. Jangan membuka ruang, memberikan celah lagi kepada yang lain.
“Sampai saat ini saya masih sangat percaya dengan MRP, saya lihat mereka sangat konsisten untuk menerapkan aturan ini, karena mereka semua adalah anak-anak asli yang tahu tentang historis, wilayah adat masing-masing. Hanya saja memang kita harus memberikan penguatan-penguatan kepada MRP, jangan sampai MRP masuk angin, khususnya saat menentukan sah dan tidaknya Cagub dan Cawagub. Untuk saat ini saya yakin sekali apalagi ketua, wakil ketua dan pokja-pokja yang dibentuk ini saya lihat mereka konsisten semua. Kita harus percaya,” tutup Yanto. [JOY]