fbpx
Jumat, 08 Nov 2024

Ori Nauw Minta Cagub-Cawagub PBD Hentikan Penggunaan Politik Primordialisme

0

Sorong, PbP – Politik Primordialisme adalah kecenderungan politik yang mendasarkan pada pilihan dan dukungan dari kesamaan suku, agama, ras, dan golongan. Edward Shils seorang sosiolog dan ilmuwan politik mengartikan primodialisme sebagai keterikatan yang mendalam pada kelompok sosial seperti etnisitas, agama, atau keluarga.

Shils berpendapat bahwa keterikatan ini dapat menjadi faktor dominan dalam interaksi sosial dan politik, di mana individu lebih cenderung memilih berdasarkan afiliasi etnis atau ikatan kelompok lainnya daripada berdasarkan pertimbangan rasional terhadap kebijakan atau kandidat.

Meski memiliki nilai positif yang bisa memperkuat rasa kebersamaan antar kelompok, namun politik primordialisme tentu sangat berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial, keterbelahan bahkan gesekan yang bisa berakibat fatal terhadap penerapan asas pemilu yang demokratis dan bermartabat.

Provinsi Papua Barat Daya, saat ini sedang dalam perjalanan untuk segera menorehkan satu catatan sejarah, sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang juga ikut menggelar Pilkada untuk memilih gubenur dan wakil gubernur defenitif. Namun, dalam perjalanannya, pesta demokrasi di PBD nampaknya sudah mulai terjadi praktek-praktek politik primordialisme yang tentu dikhawatirkan dapat mengotori kertas putih cacatan sejarah Pilkada di wilayah kepala burung pulau Papua itu.

Ketua Tim Koalisi Pemenangan Paslon nomor urut 3 Elisa Kambu-Ahmad Nasrauw (ESA), Origenes Nauw mengungkapkan, saat ini sudah banyak muncul di kalangan akar rumput praktek-praktek politik primordialisme, yang sengaja dihembuskan oleh tim maupun kandidat cagub-cawagub tertentu di Papua Barat Daya, dengan maksud untuk menarik pikat masyarakat.

Ini dilakukan dengan cara memprovokasi masyarakat untuk tidak memilih kandidat dari etnis tertentu, suku tertentu atau wilayah dan agama tertentu. Praktek-praktek tersebut, bahkan dilakukan secara masif di kalangan masyarakat, sehingga menimbulkan keresahan bahkan keterbelahan, yang tentu akan mengancam marwah dari pesta demokrasi itu sendiri.

“Kami melihat praktek politik primordialisme yang membawah isu SARA ini sudah masif dilakukan oleh tim di tingkat bawah. Kami tidak bicara di tingkat atas, karena di permukaan mereka pasti sampaikan yang baik-baik saja, tetapi beda prakteknya di lapangan. Salah satu contoh ada yang menghasut masyarakat dengan menyampaikan jangan memilih orang Maybrat, nanti pemerintahan diisi oleh kelompoknya saja, menurut kami ini sangat berbahaya,” ujar Ori Nauw, saat menghubungi Papuabaratpos.com, via telephone, Jumat (18/10/2024).

Kemudian, ada juga yang menggunakan isu wilayah, misalnya meminta masyarakat harus memilih orang pesisir dan jangan memilih orang pedalaman atau orang gunung, karena selama ini orang gunung selalu mendominasi pemerintahan. Selain itu ada juga yang membawa isu agama, dengan memberi iming-iming akan menyiapkan anggaran triliunan untuk membangun fasilitas agama asalkan memilih kandidat yang diendorse.

Selain isu SARA, ada juga temuan pihaknya terkait dugaan praktek money politik yang dilakukan kandidat tertentu, bahkan nilainya sangat fantastis. Dimana, tim kandidat tersebut mencoba mengumpulkan KTP masyarakat, untuk kemudian dijanjikan akan diberikan uang 1 juta-1,5 juta per suara dengan syarat memilih kandidat yang sudah diarahkan.

“Ini semua adalah temuan tim kita dilapangan. Di Raja Ampat itu ada kandidat yang janjikan 1 juta per suara, nanti di wilayah lainnya 1,5 juta. Kemudian di Sorong Selatan, masyarakat dihasut untuk tidak memilih orang gunung seperti Maybrat, antar etnis dan sub suku disana sengaja dibenturkan,” kata Ori Nauw.

Ori menyebut, pihaknya sangat menyayangkan adanya praktek-praktek semacam itu, ditengah upaya meletakan dan membangun demokrasi politik yang sehat, bermartabat dan berkualitas di Papua Barat Daya. Praktek penggunaan isu SARA dan politik primordialisme tentu akan menjadi preseden buruk bagi perjalanan Provinsi Papua Barat Daya, yang baru pertama kali menggelar Pilkada ini.

“Tentu kami sangat sayangkan, ditengah upaya kita untuk menghadirkan demokrasi yang sehat dan bermartabat, masih juga ada kandidat yang dengan sengaja mengotori upaya tersebut dengan menyebarkan fitnah dan kebencian menggunakan isu SARA. Menurut kami ini tidak hanya mengancam marwah demokrasi, tetapi akan menodai catatan sejarah dan perjalanan provinsi ini kedepan,” tekan Ori Nauw.

Diakhir penyampaiannya, Ori Nauw meminta semua kandidat yang merasa telah menggunakan cara curang dalam menjaring minat masyarakat, agar segera menghentikan praktek penggunaan isu SARA tersebut. Ia berharap agar kandidat yang saat ini maju bisa mengedepankan itikad baik dengan menawarkan visi misi, ide dan program-program kepada masyarakat. Hal ini, menurutnya jauh lebih terhormat dan tentu bermartabat serta bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.

“Masyarakat Papua Barat Daya ini bukan orang bodoh, mereka bisa menilai secara objektif dan rasional siapa pemimpin yang memiliki basis integritas, kapabilitas dan ketulusan untuk membangun Papua Barat Daya. Justru jika anda menggunakan isu SARA, kualitas anda akan dipertanyakan di benak publik,” tutup Ori Nauw. [JOY]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.