Pemalangan Kantor Pansel MRP-PBD Sangat Disayangkan
” Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung, “Ludya Mentansan
Sorong, PbP – Rabu (26/4/2023), Kantor Panitia Seleksi Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Daya (MRP-PBD) di Kabupaten Raja Ampat dipalang. Sehari kemudian, reaksi pun mulai bermunculan.
Sejumlah perwakilan dari tujuh Suku di wilayah Adat Domberai lantas mengadakan pertemuan di salah satu hotel di Kota Sorong, Kamis (27/4/2023). Pertemuan tersebut di hadiri oleh perwakilan dari suku di wilayah adat Domberay.
Perwakilan Suku tersebut yaitu Suku Maya, Malamoi Kota Sorong, Malamoi Kabupaten Sorong, Suku Moi Klabra, Immeko Kota Sorong, bersama dengan Panitia Kongres Masyarakat Adat Domberai.
Usai pertemuan juru bicara pun dari Dewan Masyarakat Adat Suku Maya (DesMaya) , LMA Malamoi Kota dan Kabupaten Sorong angkat bicara.
Ludya Mentansan selaku Jubir Desmaya menyangkan aksi pemalangan dan menanggapi keras statemen yang menyebut orang Maya bukan suku asli di Raja Ampat.
“Jadi hari ini, kami tujuh Suku di wilayah Adat Domberai hadir untuk menyikapi aksi pemalangan di Kabupaten Raja Ampat untuk menjaga tidak terjadinya konflik horizontal, ” ucap Ludya.
Ludya Mentansan tekankan proses pendaftaran seleksi belum dibuka, tapi sekretariat malah sudah dipalang.
Aksi pemalangan dilakukan oleh orang asli Papua yang berasal dari wilayah adat Saireri. Mereka juga memang harus mengambil bagian dari adanya Undang – Undang Republik Indonesia nomor 21 tahun 2001 yang telah diubah menjadi UU-RI nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus buat Papua.
Dikatakan Ludya, harga diri dari masing – masing Suku di Tanah Papua sudah diberikan oleh Tuhan dan leluhur di atas tanahnya masing – masing.
“Saya mau katakan dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung. Jadi kita harus saling menghargai. Kami minta untuk saudara – saudara kami yang tinggal di atas wilayah hukum adat Suku Maya untuk tolong hargai kami,” ucap Ludya.
Pengakuan atas hak masyarakat hukum adat ,kata Ludya, dituangkan dalam deklarasi Perserikatan Bangsa – Bangsa dan konstitusi negara Republik Indonesia dengan lahirnya UU Otsus.
Menurut Ludya aksi pemalangan terhadap Sekretariat Panitia Seleksi MRP-PBD di Kabupaten Raja Ampat melanggar hukum, sebab pendaftaran rekrutmen MRP-PBD belum dibuka, tetapi kantornya malah sudah dipalang.
“Aturannya pendaftaran dibuka dulu, baru silahkan ajukan sanggahan. Namun yang terjadi masih tahapan sosialisasi di 13 kampung masyarakat asli Suku Maya di atas wilayah hukum adat Suku Maya di kabupaten Raja Ampat baru selesai dilakukan. Kemudian sudah dilakukan pemalangan,” kata dia.
Aksi pemalangan dikatakan oleh Ludya sebagai upaya menghambat proses rekrutmen Anggota MRP-PBD. Oleh karena itu, Ludya sampaikan karena aparat penegak hukum tidak bertindak menghentikan pemalangan, maka dirinya bersama dengan adik perempuannya lantas mengambil langkah untuk membuka palang.
“Satu hal yang saya minta itu, tolong hargai harga diri kami Suku Maya. Apalagi kami seorang perempuan, kami melahirkan anak – anak kami, karena kami tahu kami bagian dari Suku Maya, ” tuturnya.
Ludya Mentansan pun dengan nada penuh emosional sangat tidak bisa terima ungkapan bahwa Suku Maya berasal dari Maluku Utara.
“Kalau mereka bicara itu, mereka harus buktikan lewat Musyawarah Adat besar antar suku – suku yang ada di Tanah Papua terkhusus wilayah Adat Domberai, ” kata Ludya dengan nada penuh emosi.
Wilayah Administrasi kabupaten Raja Ampat, tegas Ludya, adalah wilayah hukum Adat Suku Maya.
“Marga dan bahasa mereka saja beda dengan kami Suku Maya. Kami punya dusun, kami punya tempat keramat, punya laut dan punya hutan Adat”,
“Kami tidak pernah pergi ganggu saudara – saudara kami diluar, kami hidup dan makan di atas kami punya tanah, ” kata Ludya sembari menekankan agar lembaga Adat mereka bisa menegur yang mengungkapkan pernyataan itu, bukan membiarkan terjadi konflik di atas wilayah hukum Adat Suku Maya.
Di tempat yang sama Gidion Kilmi selaku perwakilan masyarakat adat Malamoi sub suku Moi Klabra sangat kecewa dengan aksi pemalangan dan ungkapan yang ditujukan buat Suku Maya.
“Kami sebagai perwakilan masyarakat adat Suku Moi Klabra, saya kecewa, karena Suku Maya bagian dari kami. Hal itu termuat dalam peraturan daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017,” ungkap Gidion.
Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong sudah mengakui wilayah dan budayanya masing-masing. “Kami minta saudara-saudara kita yang ada hidup dan tinggal di tanah adat Maya, mari kita saling harga menghargai dan menghormati kita bersama sekalipun kita adalah sama-sama Papua, ” tuturnya.
Mari kita menghargai masing-masing , karena tanah adalah bagian dari ibu yang melahirkan kita yang dititipkan oleh Tuhan dan leluhur.
Hal senada disampaikan pula oleh Thomas Malibela selaku jubir LMA Malamoi Kota Sorong.
Suku Maya, kata dia, satu kesatuan dengan Malamoi. “Kami bicara ini, tidak ada unsur atau kaitannya dengan politik. Kami di sini untuk bicara hukum adat. Jadi mari kita menghargai kamar adat masing-masing, ” ucap Thomas Malibela.
Menanggapi apa yang terjadi di Raja Ampat itu Raja Ampat secara tegas , Thomas Malibela sampaikan bahwa jangan bawa adat untuk kepentingan politik.
Biarkanlah adat berjalan dengan garisnya, politik jalan pula dengan garisnya. “Jadi jangan mengorbankan masyarakat adat di atas tanah ini, ” pinta Thomas.
Dia mengajak semua orang asli Papua untuk mari kita duduk bersama membangun kebersamaan, sehingga tidak ada konflik horizontal.
“Kami tetap menjunjung tinggi teman-teman dari wilayah adat lain. Kami mengajak agar mari kita bersama menjaga keseimbangan, kita membantu pemerintah, sehingga tidak ada konflik pemecah belah di sini , ” kata dia.
Abraham Kalasan selaku Jubir LMA Malamoi Kabupaten Sorong suku Moi Segin mengaku sangat sedih mendengar apa yang terjadi di Kabupaten Raja Ampat.
“Kenapa saya katakan sedih, karena bicara suku Maya artinya bicara suku Malamoi secara keseluruhan, karena Perda Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 mengakui akan keberadaan kami suku Malamoi yang terdiri dari Moi Kelin, Moi Abun ,Moi Segin hingga Moi – Maya, ” kata Abraham menuturkan.
Adat ini, sambung Abraham, adalah undang-undang Tuhan sesuai dengan nyanyian rohani 84 ayat 1. Disitu sudah jelas disebutkan bahwa adat ini adalah undang-undang Tuhan, sebab orang Maya sudah ada di wilayah Kabupaten Raja Ampat sebelum suku-suku lain datang.
“Kita bicara bukan mendeskreditkan teman-teman OAP yang lain. Namun berikanlah hak kepada mereka yang punya hak untuk mendapatkan itu, ” tuturnya.
Suku Malamoi, sambung dia, sesuai namanya memiliki sifat yang halus dan terbuka dengan siapa pun.
“Kami welcome artinya terbuka menerima siapa saja yang mau makan, mau tinggal, mau hidup, mau bekerja, tapi undang-undang otonomi khusus ini sedang mengatur agar kita OAP menjadi tuan di negerinya. Khusus untuk Raja Ampat tuannya adalah Suku Maya, ” tuturnya.
Kata Abraham, panitia seleksi rekrutmen Anggota MRP-PBD tentu menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan juknis dan juklat yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
Ditambahkan oleh Juru Bicara Panitia Kongres Masyarakat Adat Domberay, Provinsi Papua Barat Daya, Aristoteles Kambu. Dia katakan pihaknya duduk bersama untuk mencermati kondisi yang terjadi di Kabupaten Raja Ampat.
“Kami merasa ini sesuatu yang tidak bagus, tidak baik-baik saja. Saya mau sampaikan di sini bahwa kami sesama orang asli Papua itu masing-masing sudah diberikan hak oleh negara lewat undang-undang nomor 21 tahun 2001 tadinya, tapi sudah direvisi menjadi undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus, ” kata Aris Kambu.
Otsus memang bicara secara umum buat Orang Asli Papua dari Raja Ampat hingga Merauke. Lalu negara sudah bagi Papua menjadi 7 wilayah adat.
Dimana telah ada enam provinsi di Tanah Papua. Di Animha telah berdiri, Provinsi Papua Selatan, di Tabi atau Mamta ada provinsi Induk Papua. Lanjut Aris, di Lee pago, Mee pago sudah ada provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah.
Di Kepala burung ada dua wilayah adat yakni Domberai dan Bomberai. Di sebagian Wilayah adat Domberai dan keseluruhan wilayah adat Bomberai ada provinsi Papua Barat. Dan di Domberai khususnya Sorong Raya, ada provinsi Papua Barat Daya.
“Kami tentu berkewajiban membentuk lembaga Dewan Adat Domberay, di provinsi Papua Barat Daya untuk melindungi hak adat kami tujuh suku. Sebab tujuh suku di wilayah adat Domberay, Provinsi Papua Barat Daya memiliki adat dan budaya yang sama, ” kata Aris Kambu.
Negara telah menghormati Orang Asli Papua dengan membentuk lembaga kultur yaitu MRP dan Kursi jalur pengangkatan atau Otsus di Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi. Bahkan yang terbaru negara telah menambah lagi dengan hadirnya kursi Otsus di DPR Kabupaten dan kota.
“Nah kalau negara saja bahkan saudara kami dari luar Papua sudah menghormati kami, cobalah kami minta kepada saudara-saudara kami sesama orang asli Papua supaya harus menghormati kami sebagai anak adat yang punya hak di atas wilayah hukum adat Domberai, ” pinta Aris Kambu.
Kejadian yang kemarin terjadi di Raja Ampat , sambung Aris, sangat besar sekali dan sangat disesalkan.
Hasil Kongres Masyarakat Adat Domberay yang akan dilaksanakan kedepan, lanjut Aris, sebagai wujud bahwa Dewan Masyarakat Adat Domberai,Provinsi PBD akan mengawal mulai dari proses perekrutan Anggota MRP-PBD hingga DPRP dan DPRK jalur otsus berjalan sesuai dengan koridornya.
Dimana kursi kultul tersebut harus diisi oleh putra – putri terbaik dari tujuh suku di wilayah Adat Domberai.
“Kami telah sampaikan itu pula kepada abang kami Pj Gubernur PBD, kami akan bangun mitra dengan pemerintah Provinsi Papua Barat Daya. Kami sebagai tuan rumah dan kami punya rumah, jadi kami harus menjaganya, kursi kultur untuk memperjuangkan hak – hak Adat. Bukan bicara politik, “kata Aris.
Dirinya sudah berulang kali sampaikan melalui media, untuk mari sebagai sesama orang asli Papua kita sama-sama saling menghormati.
“Ada hal-hal yang bisa pula semua dapatkan, tapi ada hal-hal yang sifatnya prinsip menyangkut kursi kultur di MRP – PBD dan DPRP serta DPRK itu harga diri buat kami, ” tutupnya. [EYE – SF]