Pengacara Bersertifikat Anak Tanggapi Tuntutan JPU Terhadap Penganiaya Anak
Sorong, PbP – Advokat bersertifikat anak yang sekaligus akademisi, Mulyadi Golap, SH, MH menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sorong, yang hanya menuntut Noval Ajuan sang terdakwa penganiaya anak di bawah umur, selama 4 bulan penjara.
“Berdasarkan klausul pasal 80 Undang-Undang (UU) perlindungan anak, tuntutan itu tidak memenuhi syarat. Seharusnya Jaksa mempertimbangkan sanksi 3 tahun 6 bulan. Kita tidak tahu tuntutan 4 bulan itu atas dasar apa. Kami menilai, tuntutan Jaksa banyak kejanggalan,”ujar Golap, saat ditemui wartawan di kediamannya, di Jalan Pendidikan Kota Sorong, Jumat (28/6).
Perihal alasan bukti yang tidak memadai, menurut Golap, seharusnya jaksa memahaminya sejak awal, sehingga perkara ini tidak berlanjut ke tahap persidangan.
“Harusnya kan sejak awal Jaksa mengembalikan berkas perkara ke penyidik. Ini ada kekeliruan dan sangat terlihat tidak profesional,”kata Golap.
Yang juga menjadi pertanyaan, lanjutnya, apakah Jaksa yang bersangkutan sudah bersertifikat anak atau belum. Sebab menurut dia, sesuai amanah Undang-undang, terhitung Juli 2019 semua penegak hukum yang menangani perkara anak, harus bersertifikat anak. Jika belum bersertifikat anak, maka kata dia, sistim peradilan terhadap anak tidak berjalan efektif.
Golap juga mempertanyakan, apakah dalam kasus tersebut juga dilibatkan pekerja sosial (peksos), yang tugasnya sesuai UU perlindungan anak membuat laporan sosial (lapsos), yang digunakan sebagai bahan pertimbangan hakim, dalam menjatuhkan putusan.
“Jika tidak ada peksos, maka tidak akan diketahui riwayat psikis dan fisik korban. Peksos ini merupakan pihak terkait dalam menyelesaikan kasus anak. Pihak-pihak terkait ini dalah polisi, jaksa, hakim, pengacara, pk bapas dan peksos. Pihak terkait bertugas berbeda-beda, namun dalam satu sistim dan bersinergi bersama, dalam menyelesaikan kasus anak. Dan sesuai UU Sistim Peradilan Terhadap Anak (SPPA) korban ini wajib didampingi peksos dalam tahap pemeriksaan manapun,”paparnya.
Dia juga memaparkan tentang aturan persidangan terhadap anak di bawah umur, dimana hakim dan jaksa tak boleh menggunakan toga, yang sesuai dengan UU nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA, dimana penegak hukum tidak diperbolehkan menggunakan toga atau atribut kedinasa.
“Hal ini pun tertuang di dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI nomor SE-007/A/JA/10/2016 tentang perlindungan terhadap anak korban kekerasan,”imbunya.
Lanjut Golap, dalam kasus anak, juga hakim yang memeriksa dan memutus perkara adalah hakim tunggal, sesuai pasal 44 ayat 1 UU SPPA.
Perlu dipahami juga, kata dia, dalam peraturan perundang-undangan, jika penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan pengacara yang menangani perkara anak menyelahgunakan kewenangan, maka dapat diproses pidana dengan ancaman 2 tahun penjara.
“Di sini hakim bukan sebagai penegak hukum, akan tetapi hakim adalam penegak keadilan yang memutus berlandaskan keadilan. Sesuai perundang-undangan, dalam putusan hakim juga harus mempertimbangkan hal restitusi (ganti rugi), dari pelaku ke korban. Logikanya, di mana UU perlindungan anak yang merupakan Undang-undang khusus, tetapi jaksa hanya dituntut terdakwa 4 bulan. Ini kan bukan tipiring (tindak pidana ringan), apakah supaya hakim putus bebas?”tuntas dosen fakultas hukum di salah satu universitas di Kota Sorong ini. [END-HM]