Suku Biak Bukanlah “The Obstacler Tribe” Bagi Sesama OAP di Kota Sorong

Oleh: Timo Kbarek (Penasehat IKASUBA Sorong)

Judul tulisan ini, bagi saya sangat perlu dipaparkan secara publishing karena memang masih ada penyakit iri hati dan kecemburuan di antara sesama suku orang asli Papua (OAP) setelah lahirnya undang-undan Otsus Papua dan Lembaga Legislasi Kultur yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) bersama sejumlah product regulasinya. Terutama menyangkut hak-hak dasar orang asli Papua. Maka dari situlah juga muncul semboyan “Tuan dan kaya di negeri sendiri”.
Saya tidak berniat membuka ruang opini dangkal yang sentimentil-emosional diantara sesama OAP di negeri sendiri. Juga tidak berniat memberi jamuan eksploitasi politik lebih luas untuk disanjung atau dikecam oleh sesama suku bangsa di Nusantara ini. Kecenderungan opini dan pandangan saya mutlak suatu bentuk “konfirmasi dan klarifikasi politik yang logis dan rasional di Kota Sorong”. Supaya setiap pelaku politik lokal dan agen-agennya diantara sesama OAP di negeri ini tidaklah ngawur dalam berpandangan politik.
Saya misalkan saja belakangan ini, sehubungan dengan pertimbangan politik pemerintahan dan kebijakan Walikota Sorong untuk melengserkan Sekda atas nama Drs. Yakob Kareth (JK), ternyata dalam barisan perasaan dan pikiran walikota, eksistensi Suku Biak di Kota Sorong juga terseret dalam benak dan kesan-kesan politik identitas beliau. Mengapa, ya ?? Koq keberadaan suku Biak dibawa-bawa juga dalam setiap pandangan dan opini beliau terkait jabatan karier Sekretaris Daerah yang dipersoalkan di Kota Sorong beberapa waktu lalu, hingga menjadi heboh di ruang publik.
Bagi saya, persoalan jabatan karier tersebut adalah persoalan negara dan pemerintah. Jika sesuai UU R.I NO. 5 THN 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang mana terjadi “reshuffle intern” yang baik dan benar ya “why not”. Pastilah baik untuk kepentingan pelayanan publik oleh pemerintah. Lain soal, jika prtimbangan dan kebijakan kepala daerah yang secara politis menguntungkan kelompoknya karena suatu misi tertentu di hari esok.
Saya terpaksa harus mengecam keras, jika eksistensi orang Biak di Kota Sorong ikut sengaja diseret dan dikambinghitamkan dalam emosi atau kesan-kesan miring oleh pak walikota dalam hal ini Drs. Ec. Lambert Jitmau, MM (LJ), dalam menilai kekurangan kinerja atau keberadaan pak JK selama menjabat sebagai sekretaris daerah di Kota Sorong sebagai pejabat yang tidak loyal terhadap pimpinan dan lain sebagainya.
Misalnya, pak JK itu adalah “profil sampah di Maybrat dan diangkat atau diberdayakan di Kota Sorong maka belakangan ini haruslah dikembalikan juga di tempat sampah”. Sungguh filosofi yang luar biasa karena tidak etis dan tidak manusiawi yang keluar dari mulut seorang pejabat yang miskin etika kebijaksanaan. Seharusnya, kata-kata tersebut keluar dari mulut seorang yang tidak berpendidikan tinggi.
Namun demikian, saya tidak terlalu jauh terjerumus dalam kancah pandangan akibat fakta-fakta pelecehan harga diri terhadap pak JK oleh pak LJ. Barangkali, itu adalah urusan rumah tangga Pemkot Sorong dan kampung halaman mereka sendiri. Saya hanya ingin mempersoalkan, apa hubungannya dengan eksistensi masyarakat Suku Biak yang adalah juga penduduk legal Kota Sorong, warisan nenek moyang Suku Biak di Tanah Moi sejak zaman kafir hingga zaman Terang Injil.
Apa akar masalahnya sehingga persoalan Sekda pak JK maka suku Biak ikut kena dampak perbuatan tidak menyenangkn oleh pak LJ?.
Sesungguhnya, eksistensi masyarakat Suku Biak di Kota Sorong adalah juga OAP dan “penduduk legal di Kota Sorong”. Bukan sama sekali penduduk transmigrasi ataupun penduduk hasil selundupan bahkan bukan penduduk suaka politik. Masyarakat Suku Biak pun tidak berbeda dengan eksistensi suku-suku lain dalam konteks sesama OAP di Tanah Moi, termasuk juga suku-suku Maybrat.
Saya tidak mau kita saling menghitung jasa-jasa pengabdian di Tanah Moi. Yang jelas bahwa Suku Biak di Kota Sorong bukan ancaman, bukan suku bangsa penghalang (The Obstacler Tribe) bagi kemajuan suku-suku lain sebagai sesama OAP. Yang pasti untuk dapat dimaklumi dan direnungkan yaitu Suku Biak adalah Suku Perintis/Pelopor dalam proses perkembangan kemajuan di Tanah Papua. Suku Biak adalah salah satu suku OAP yang ditugaskan Tuhan untuk harus menjadi berkat bagi sesama etnis di negeri ini, sebagaiman ungkapan hati dalam doa Bapak Pdt. Dr. Van Marcus ketika hendak pulang ke Negeri Belanda, meninggalkan Pulau Biak pada tahun 1963.
Mnrt saya, mungkin karena istrinya pak JK adalah perempuan Biak? Ataukah karena setiap kali masyarakat Suku Biak melakukan acara-acara adat atau apapun yang bergeming dalam komunitas suku Biak pak JK selalu hadir juga bahkan memberikan kata-kata sambutan. Yang jelas pak JK hadir karena diundang resmi bahkan hadir juga karena kapasitasnya sebagai salah satu personil dalam struktur Badan Penasehat dan Pembina Organisasi masyarakat Suku Biak di Wilayah Sorong Raya.
Perlu kami tegaskan Bapak JK dalam kebersamaan hidup dengan keluarga besar Suku Biak di Kota Sorong selama ini “bukan karena motivasi kepentingan politik lokal, bukan pula supaya menjadi pendongkrak jabatan dan rekruitment aparatur sipil negara bagi generasi muda Suku Biak bahkan sebagai tokoh pejuang bagi calon-calon legislatif asal Suku Biak pada peta Pilkada walikota tahun 2024. Itu mimpi dan bayangan hantu yang ditakuti oleh pak LJ terhadap pak JK karena istrinya seorang perempuan Bin Syowi Biak. (***)

Please follow and like us:
Like
Like Love Haha Wow Sad Angry

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *